Selamat Datang di Website Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Disini anda mendapat berbagai informasi pendidikan, jangan lupa tuliskan komentar positif untuk membantu kami malakukan update informasi. Terimakasih Amal Jariyah atau Keadilan Sosial? Renungan untuk Negeri - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Header Ads

Header ADS

Amal Jariyah atau Keadilan Sosial? Renungan untuk Negeri

Amal Jariyah atau Keadilan Sosial? Renungan untuk Negeri

Civics (Artikel) – Belakangan ini, publik dikejutkan dengan pernyataan seorang pejabat negara yang menyebut bahwa profesi guru sejatinya adalah ladang amal jariyah, dan bila ingin mencari uang, sebaiknya berdagang saja. Meskipun maksud dari ucapannya benar—bahwa mendidik adalah amal yang pahalanya terus mengalir—namun cara pandang semacam ini bisa melukai perasaan para guru. Ucapan ini memantik beragam reaksi, khususnya dari para guru yang setiap hari berjuang di ruang-ruang kelas mendidik generasi bangsa.

Benar, mendidik adalah amal jariyah. Setiap huruf yang diajarkan, setiap nilai yang ditanamkan, kelak akan menjadi bekal kebaikan yang mengalir tiada henti. Namun, menjadikan ikhlas dan amal jariyah sebagai alasan untuk menutup mata terhadap hak guru untuk hidup layak adalah kekeliruan yang patut direnungkan.

Lihatlah realitas di lapangan. Semangat guru honorer tidak perlu diragukan lagi. Meski gaji yang diterima sering kali jauh dari kata layak, ada yang hanya seratus atau dua ratus ribu rupiah sebulan, bahkan ada yang sekadar digaji dari iuran murid, mereka tetap hadir setiap hari dengan senyum dan penuh dedikasi. Mereka berjalan jauh menuju sekolah, ada yang menyeberang sungai, melewati jalan berbatu, atau bahkan naik ojek dengan biaya lebih besar dari gaji yang diterima.

Baca Juga: Peran Guru Sebagai Agen Perubahan Sosial dalam Masyarakat


Di ruang kelas sederhana, mereka tetap berdiri tegak di depan murid-murid, membacakan doa, mengajarkan huruf, menanamkan akhlak, serta memotivasi generasi bangsa. Mereka tidak pernah menyerah, meski penghargaan yang diterima tidak sebanding dengan tenaga, waktu, dan ilmu yang dicurahkan.

Guru adalah manusia. Mereka punya keluarga yang harus dinafkahi, anak-anak yang perlu disekolahkan, serta kebutuhan hidup yang kian hari semakin menuntut. Bagaimana mungkin mereka bisa maksimal mendidik jika kesejahteraannya diabaikan? Ikhlas tidak boleh dipertentangkan dengan hak, sebab keadilan sosial justru lahir ketika keduanya berjalan beriringan.

Ironisnya, di tengah seruan agar guru bersabar dan beramal jariyah, publik melihat pejabat negara bergelimang fasilitas dan kemewahan. Ada ketimpangan yang nyata di hadapan mata. Di sinilah pentingnya kepekaan, jangan sampai pesan moral berubah menjadi luka sosial.

Pendidikan adalah investasi, bukan beban. Guru bukan sekadar pelaksana kebijakan, tetapi pilar peradaban. Jika guru dilemahkan, maka rapuhlah fondasi bangsa. Sebaliknya, jika guru dimuliakan dan disejahterakan, maka masa depan negeri ini akan lebih kokoh.

Mari kita renungkan bersama, negeri ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata indah. Ia butuh keadilan nyata, keadilan yang menempatkan guru sebagai teladan yang terhormat, bukan beban yang diringankan dengan retorika.


Tidak ada komentar

Terimakasih telah singgah. Silahkan tinggalkan komentar. Semoga artikel ini bermanfaat untuk anda.

Diberdayakan oleh Blogger.