Selamat Datang di Website Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Disini anda mendapat berbagai informasi pendidikan, jangan lupa tuliskan komentar positif untuk membantu kami malakukan update informasi. Terimakasih

Profil Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta | Tokoh Nasional - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Header Ads

Header ADS

Profil Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta | Tokoh Nasional

| Bung Hatta |
Dr.
 (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980) adalah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, pahlawan nasional, negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. 
Bung Hatta bersama Soekarno merupakan sang Proklamator Kemerdekaan, yang telah memainkan peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
Bung Hatta pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Pada 1956, ia mundur dari jabatan wakil presiden.

Bung Hatta dikenal komitmennya pada demokrasi. Ia mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi Indonesia. Di bidang ekonomi, pemikiran dan terhadap perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi.[1][2] 

Hatta meninggal pada tahun 1980 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Proklamator Kemerdekaan pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.[3] 

Namanya bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di Belanda, namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.[4]

Hatta Kecil

Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya seorang keturunan ulama Naqsyabandiyah di Batuhampar, Sumatra Barat[5][6][7] dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. 

Bung Hatta lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum".[8] Athar lahir sebagai anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. 

Sejak kecil, Hatta dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurrahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar.[9] Sementara, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.

Ayahnya meninggal pada saat Hatta berumur tujuh bulan.[8] Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang.[10] Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning melahirkan empat orang anak, yang semuanya adalah perempuan.[8]

Pendidikan dan Pergaulan

Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.[11] Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga.[12] Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,[12] dan melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. 

Selain pendidikan formal, Hatta juga belajar agama kepada Muhammad Jamil JambekAbdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.[13] 

Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, Hatta mengenal para pedagang yang masuk anggota Serikat Oesaha dan aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.[14] Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.[15]

Keluarga

Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim. Pernikahan mereka dikaruniai 3 anak perempuan yang bernama Meutia Farida HattaGemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.


Perjuangan dan Pergerakan

1921–1932: Masa Pendidikan di Belanda

Hatta (berdiri, kedua dari kanan) bersama para pengurus Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu (tahun 1925) Hatta masih berstatus seorang bendahara di sana

Pada tahun 1921–1932. Bung Hatta mengawali pergerakan politik ketika ia bersekolah di Handels Hogeschool Belanda (sekarang Universitas Erasmus Rotterdam)  

Selama di Belanda, Ki Hadjar DewantaraCipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker selalu mempengaruhi Hatta untuk bergabung dalam organisasi sosial Indische Vereeniging yang kemudian menjadi organisasi politik. 

Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.[18] 

Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia; PI).[19]

Pada tahun 1926, Hatta menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia.[20] Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak ulasan di media massa di Indonesia.[20] Bung Hatta menempati posisi ketua Perhimpunan Indonesia hingga selama 2 periode hingga tahun 1930.[21] 

Pada Desember 1926, Semaun dari PKI menawarkan Hatta untuk memimpin pergerakan nasional secara umum kepada Perhimpunan Indonesia (PI).[20] Hatta dan Semaun pun membuat perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta".[22] 

Pada tahun 1927, Hatta mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.[b] 

Mohammad Hatta bersama Abdulmadjid Djojohadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Ali Sastroamidjojo

Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali SastroamidjojoNazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat ditangkap penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926–1927, dan menghasut (opruiing) menentang Kerajaan Belanda. 

Dalam kasus ini Moh. Hatta dihukum tiga tahun penjara di Rotterdam.[27] [28] Hatta pun dituduh hendak melarikan diri.[29]

Hatta menolak semua tuduhan tersebut dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesië Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928.[28] 

Hatta dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen, J.E.W. Duys. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan.[30]

Tahun 1931 Bung Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua PI karena hendak mengikuti ujian sarjana. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini.[31] PI di Belanda mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI.[32]

Pada Desember 1931, para pengikut Hatta mendirikan gerakan Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Hal ini mendorong Hatta dan Syahrir yang sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah konkret dalam mempersiapkan kepemimpinan di sana. 

Hatta merasa perlu untuk menyelesaikan studinya, sehingga Syahrir terpaksa pulang untuk memimpin PNI dengan perjanjian kalau Hatta kembali pada 1932, maka Syahrir dapat melanjutkan studinya.[33]

1932–1941: Masa di Pengasingan

Sekembalinya ia dari Belanda, Hatta ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij) untuk menjadi anggota parlemen Belanda. Melalui telegram yang dikirim OSP pada 6 Desember 1932, Hatta diminta kesediaannya untuk menerima pencalonan anggota Parlemen .[34] Tawaran ini ditolak Hatta namun pemberitaan di Indonesia terlanjut mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.[36]

Pada Tanggal 25 Februari 1934 Bung Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul.[37] Di tempat pembuangan, Hatta banyak menulis di koran Jakarta dan majalah Medan.[38] Hatta menghabiskan masa pembuangan di Digul dengan membaca buku dan membantu sesama tahanan.

Pada Februari 1937, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira.[d] Aktivitas Hatta di Banda Neira adalah bercocok tanam dan menulis di beberapa media koran, seperti:

  1. "Sin Tit Po" (dipimpin Liem Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda
  2. Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam Ratulangi
  3. Koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan.[45] 

Di Banda Neira, Hatta pun menjadi pengajar bagi beberapa pemuda, antara lain Anak dr. Cipto, anak-anak asli Banda Neira, dua anak muda dari Sumatra Barat,[47] dan empat pemuda dari Bukit Tinggi yang dikirim oleh Anwar Sutan Saidi .[48]

Pada tahun 1941, Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya mengajak rakyat Indonesia agar tidak memihak kepada pihak Barat ataupun fasisme Jepang. 

1942–1945: Masa Penjajahan Jepang

Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl HarborHawaii dan memicu Perang Pasifik. Setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk  Indonesia. 

Disaat itu Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia

Hatta dan Syahrir pun dipindahkan ke Sukabumi dan Jakarta pada Februari 1942.[52] Ikut bersama mereka 3 orang anak-anak Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.[53]

Saat dibawa ke Jakarta, Mayor Jenderal Harada menyampaikan informasi kedatangan Jepang ke Indonesia kepada Hatta. Harada mengajak Hatta untuk bekerjasama dan akan memberikan jabatan penting kepadanya, namun Hatta menolak dan memilih menjadi penasehat[54]. Alhasil Hatta dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). 

Pada posisi tersebut Hatta mengikutsertakan para tokoh seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo KolopakingSupomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan mereka, namun sebaliknya Hatta memanfaatkan jabatan tersebut untuk membela kepentingan rakyat.[56]

1945: Mempersiapkan Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. 

Panitia sembilan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad YaminAchmad SoebardjoA.A. MaramisAbdulkahar MuzakirWahid HasyimH. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.[57]

Pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKIPPKI bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi

Pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).[58]

Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. 

Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.[59]

1945–1956: Menjadi Wakil Presiden Pertama Indonesia

Hatta (keempat dari kiri) di Istana Dam, Amsterdam, dan Ratu Juliana (ketiga dari kanan) pada saat penyerahan kedaulatan

Pada 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 WIB. Keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta resmi ditetapkan sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno.[60]

Selama menjadi Wakil Presiden, Hatta gigih menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).[61]

Pada 12 Juli 1947 Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[62]

Pada 21 Juli 1947, saat terjadinya Agresi Militer Belanda I, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda. Hatta selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi
Mohammad Hatta berpidato di hadapan para peserta Konferensi Persiapan Nasional di Jakarta pada 26 November 1949. Tampak Sartono (duduk deretan depan no.2 dari kiri) mendengarkan dengan saksama.

Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Di tahun tiu terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.[63][65]

Kunjungan kerja Wakil Presiden Moh.Hatta ke Yogyakarta tahun 1950. Tampak dalam gambar,paling kiri, Mayor Pranoto Reksosamodra sebagai Komandan Militer Kota Besar Yogyakarta.

Pada tahun 1955, Bung Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden.[67] Karena menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.

Pada tanggal 20 Juli 1956, Bung Hatta menulis surat kepada Ketua DPR, Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."[68]

DPR menolak permintaan Bung Hatta dengan cara mendiamkan surat tersebut. Pada tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. 

Pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR menyetujui permintaan Bung Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.[69]

Di akhir tahun 1956, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. 

Pada 27 November 1956 Hatta memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah MadaYogyakarta.[70] 

Sebelumnya, pada Tahun 1951 Universitas Indonesia pun telah menyampaikan keinginan untuk memberikah gelar kepada Bung Hatta namun Ia belum bersedia menerimanya. Hatta hanya berkata, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.

1956–1980: Masa Pensiun

Foto terakhir Bung Hatta sebelum masuk rumah sakit, tanggal 1 Maret 1980. Di sebelah kanan adalah Ny. Moenadji Soerjohadikoesoemo.

Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI yang disahkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 13 Tahun 1957 tentang Pemberhentian Dr. Mohammad Hatta dari Jabatan Sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 5 Februari 1957. 

Pasca pengunduran diri, Hatta meninggalkan rumah jabatan Wapres di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57 Jakarta. 

Hatta tidak pernah menyesali keputusan tersebut. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menjadi penulis buku dan pengajar. 

Pada tahun 1957 Hatta diundang pemerintah RRC yang masih menganggap Hatta sebagai “a great son of his country”.[71]

Mereka yang sibuk pada masa Revolusi berkumpul kembali tahun 1979 ketika Richard C. Kirby, yang dulu mewakili Australia dalam Komite Jasa Baik PBB untuk Indonesia (KTN), berkunjung ke Jakarta. Dari kanan : Ali Budiardjo (pembantu politik Hamengkubuwono IX menjelang RIS), Mohammad Hatta, Richard C. KirbyMohammad RoemSri Sultan Hamengkubuwono IXSubadio SastrosatomoMohammad NatsirTamzil, dan Thomas K. Critchley yang menggantikan Kirby dalam Komite PBB.

Tahun 1963 Bung Hatta jatuh sakit dan mendapatkan perawatan di StockholmSwedia.[72]

Pada 31 Januari 1970, Hatta diangkat sebagai Penasihat Presiden dalam bidang pemberantasan korupsi. Melalui Keppres No. 12/1970 dibentuk Komisi Empat yang bertugas untuk menuntaskan maslah korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono

Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden. Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia. 

Pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi Ketua Panitia Lima bersama anggota Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. 

Pada 30 Juli 1975 Bung Hatta dianugerahi gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono.[74]

Pada Tahun 1978 bersama dengan Jenderal Abdul Haris Nasution, Bung Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi yang bertujuan mengkritik penggunaan Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentingan rezim otoriter Suharto.[75]


Wafat

Selama hidupnya, Bung Hatta telah mendapat 6 kali perawatan intensif di rumah sakit, yaitu tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pada pukul 18.56 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. 

Hatta disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. 

Mendapat Gelar Pahlawan

Pada 23 Oktober 1986 Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator Kemerdekaan kepada Bung Hatta bersama mendiang Bung Karno

Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.[78]

Bung Hatta Award

Sejak 9 April 2003, Perkumpulan BHACA yang diprakarsai oleh Theodore Permadi Rachmat dan Teten Masduki menyelenggarakan perhelatan penganugerahan Bung Hatta Award yang diserahkan kepada para tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang profesi yang dinilai memiliki komitmen anti-korupsi. Beberapa tokoh yang pernah menerima penghargaan tersebut antara lain Tri Risma HariniBasuki Tjahaja Purnama, dan Joko Widodo.[79]


Sumber : Wekipedia.org


Tidak ada komentar

Terimakasih telah singgah. Silahkan tinggalkan komentar. Semoga artikel ini bermanfaat untuk anda.

Diberdayakan oleh Blogger.